Categories
Blog

REFORMASI DIHABISI

“Hadiah Kemerdekaan RI ke-78 dari Bapak Presiden”

I. Pendahuluan

Tepat tiga hari setelah kemerdekaan negara republik indonesia ke-79, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 terkait pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam putusan tersebut, MK menegaskan syarat batas usia minimal ketika seseorang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun walikota.

Terdapat tiga poin yang dinilai dapat merubah peta politik dalam putusan MK tersebut, yaitu ambang batas pencalonan kepala daerah di DPRD, mantan kepala daerah tidak dapat maju menjadi kepala daerah di wilayah yang sama, dan syarat batas usia minimal calon kepala daerah. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan pemutus tertinggi pertentangan sebuah peraturan terhadap Undang Undang Dasar, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 24C ayat 1.

Meskipun begitu, badan legislasi (baleg) DPR diduga melakukan upaya untuk menganulir semua putusan MK melalui rapat pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada. DPR menolak menjalankan keputusan MK dengan menyepakati angka 30 tahun sebagai batas minimal usia calon kepala daerah ketika dilantik. Keputusan ini bertentangan dengan putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menetapkan batasan umur kepala daerah berlaku saat penetapan calon. Pada saat yang sama, DPR hanya mengikuti keputusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait penghilangan batas kursi partai di DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah, namun hanya diberlakukan untuk partai yang tidak memiliki kursi. Rangkaian peristiwa yang telah disebutkan tadi merupakan bentuk dari autocratic legalism dengan tujuan mengubah regulasi untuk melanggengkan kekuasaan elit politik tertentu.

Perubahan batas usia calon gubernur (cagub) di Indonesia menjadi isu yang memerlukan kajian mendalam, karena menyangkut prinsip-prinsip demokrasi, aksesibilitas kepemimpinan, dan keadilan dalam proses politik. Batas usia minimum untuk menjadi cagub memiliki implikasi besar, tidak hanya terhadap siapa yang berhak mencalonkan diri tetapi juga terhadap representasi generasi dan dinamika politik di tingkat daerah. Dengan munculnya wacana atau kasus perubahan batas usia tersebut, penting untuk mempertimbangkan berbagai aspek seperti legalitas, partisipasi politik, hingga dampaknya terhadap regenerasi kepemimpinan.

I. Konsep Dasar Autocratic Legalism

Secara bahasa, “autocratic legalism” terdiri dari dua kata utama, yaitu autocratic dan legalism. Autocratic berasal dari kata “autocracy,” yang berarti sistem pemerintahan dimana kekuasaan terkonsentrasi pada satu orang atau kelompok dengan wewenang absolut, tanpa adanya partisipasi publik yang signifikan. Lalu legalism memiliki arti penekanan berlebihan atau penggunaan ketat terhadap hukum atau aturan formal dalam menjalankan pemerintahan.

Secara istilah hukum, autocratic legalism merujuk pada penggunaan instrumen hukum untuk memperkuat kekuasaan otoriter. Dalam konteks ini, hukum yang seharusnya menjamin keadilan dan hak-hak demokratis justru diperalat untuk tujuan otoriter. Dalam praktiknya, penguasa yang mengadopsi autocratic legalism memanfaatkan celah hukum, mengubah undang-undang, atau menerapkan hukum secara selektif untuk menghambat oposisi, mempertahankan kekuasaan, dan membungkam kritik.

Autocratic legalism dalam praktiknya sering diimplementasikan melalui perubahan atau interpretasi ulang konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan atau mempersempit hak-hak politik, pembuatan undang-undang represif yang menyasar kelompok-kelompok tertentu, seperti undang-undang terkait keamanan, teknologi informasi, atau kebebasan berkumpul, ataupun penggunaan hukum sebagai alat politik untuk menyerang atau mengkriminalisasi lawan politik melalui dakwaan yang dilegalkan.

Autocratic legalism pada dasarnya memiliki beberapa tujuan, diantaranya sebagai berikut:

  1. Mengkonsolidasi Kekuasaan
    • Rezim otoriter menggunakan perubahan undang-undang untuk mengukuhkan posisi mereka dan memperkuat kontrol atas lembaga-lembaga negara. Proses legislasi yang tergesa-gesa dan minim partisipasi publik dimanfaatkan untuk memudahkan agenda politik tertentu.
  2. Menghambat Oposisi
    • Hukum digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul, serta menghukum oposisi politik. Lembaga yudikatif sering dijadikan alat untuk melegitimasi tindakan pemerintah dan memidana pihak-pihak yang kritis.
  3. Memanipulasi Proses Demokrasi
    • Dalam konteks pemilu, autocratic legalism dapat terlihat dari penggunaan regulasi dan sumber daya negara untuk mempengaruhi hasil pemilu demi mempertahankan kekuasaan. Pemilu 2024 di Indonesia dikhawatirkan disiapkan untuk memudahkan kemenangan kelompok tertentu.
  4. Mengikis Prinsip Konstitusionalisme
    • Autocratic legalism mengesampingkan prinsip-prinsip konstitusionalisme dengan bertindak sewenang-wenang di balik dalih hukum. Pembentukan undang-undang penting sering dilakukan tanpa partisipasi publik yang memadai, menciptakan undang-undang yang lebih menguntungkan penguasa daripada masyarakat secara umum.

Ciri-ciri rezim yang terjangkit autocratic legalism adalah sebagai berikut:

  1. Menggunakan Hukum untuk Mempertahankan Kekuasaan
    • Rezim otoriter menggunakan perubahan undang-undang untuk mengkonsolidasi kekuasaan mereka secara legalistik namun manipulatif. Proses legislasi sering dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa, mengurangi transparansi dan akuntabilitas.
  2. Menghambat Partisipasi Publik
    • Pembentukan undang-undang cenderung tidak melibatkan masyarakat secara memadai. Dokumen perancangan undang-undang sulit diakses publik, dan pokok-pokok pembahasan tidak dipublikasikan luas, menghindari pengawasan publik.
  3. Mengintervensi Lembaga Negara
    • Hukum digunakan untuk mengendalikan lembaga-lembaga negara seperti yudikatif. Misalnya, dengan memberikan dasar bagi lembaga pengusul untuk melakukan recall terhadap hakim konstitusi, mengancam independensi dan imparsialitas lembaga tersebut.
  4. Membatasi Kebebasan Sipil
    • Hukum dimanfaatkan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul, serta menghukum oposisi politik. Lembaga yudikatif dijadikan alat untuk melegitimasi kebijakan pemerintah dan memidana pihak-pihak yang kritis.
  5. Mengikis Prinsip Konstitusionalisme
    • Autocratic legalism meninggalkan prinsip-prinsip konstitusionalisme dengan bertindak sewenang-wenang di balik dalih hukum. Pembentukan undang-undang penting sering dilakukan tanpa partisipasi publik yang memadai, menciptakan undang-undang yang lebih menguntungkan penguasa daripada masyarakat secara umum.

Sebagai penjelasan dan gambaran lebih lanjut mengenai autocratic legalism, berikut beberapa contoh praktik autocratic legalism di Indonesia.

  1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
    • Undang-undang ini dinilai menggunakan autocratic legalism karena proses pembentukannya     cenderung            tertutup            dan      tergesa-gesa,  mengurangi transparansi        dan      akuntabilitas.   Substansi            UU       ini         juga lebih menguntungkan kepentingan penguasa daripada melindungi hak-hak dasar warga negara.
  2. Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
    • Upaya revisi UU MK yang dilakukan DPR dinilai cacat formil karena tidak melibatkan partisipasi publik yang memadai. Revisi ini juga dianggap mengintervensi independensi lembaga peradilan dengan memberikan dasar bagi DPR untuk melakukan recall terhadap hakim konstitusi.
  3. Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law)
    • Pembentukan UU Cipta Kerja yang kontroversial ini menunjukkan gejala autocratic legalism, seperti minimnya partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi. Mahkamah Konstitusi kemudian memutuskan bahwa pembentukan UU ini cacat formil.
  4. Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN)
    • UU IKN sejak awal pembentukannya dinilai mengandung autocratic legalism karena disahkan dalam waktu singkat (43 hari) tanpa partisipasi publik yang memadai. Revisi UU IKN terbaru juga mengandung “pasal sapu jagat” yang mengabaikan prinsip-prinsip konstitusionalisme

III. Praktik Autocratic Legalism dalam Momentum Pilpres dan Pilkada tahun 2024

Tahun 2024 menjadi momen krusial bagi perjalanan demokrasi Indonesia, di mana pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar secara serentak. Sebagai tonggak penting dalam sistem demokrasi Indonesia, proses ini seharusnya menjamin terwujudnya pemerintahan yang adil, transparan, dan berlandaskan pada kehendak rakyat. Namun, berbagai indikasi menunjukkan adanya praktik autocratic legalism yang membayangi proses pemilu tersebut.

Jika kita menengok lagi ke belakang, tentu ingat jelas dengan gonjang-ganjing Mahkamah Konstitusi yang mengubah regulasi batas minimal usia bisa mendaftar sebagai capres/cawapres. Ketentuan yang diatur sebelumnya adalah diperbolehkan mendaftar apabila berusia minimal 40 tahun. Akan tetapi kemudian hal tersebut direvisi oleh MK dengan diberi tambahan diksi “kecuali jika pernah menjabat sebagai kepala daerah”.

Awal kecurigaan pun mulai timbul di masyarakat, mengingat ketika waktu itu usia Gibran (anak Jokowi) belum mencapai 40 tahun ditambah dengan statusnya sebagai seorang kepala daerah. Belum lagi posisi Anwar Usman (Ketua MK) semakin memperkuat adanya dugaan nepotisme. Beberapa waktu kemudian publik sama-sama tahu bahwa Gibran benar-benar maju sebagai wakil presiden bersama capres Prabowo dan berhasil memenangkan kontestasi Pilpres 2024.

Yang menjadi catatan penting dan inti permasalahan di sini sebenarnya bukan tentang siapa yang akan mencalonkan diri sebagai capres/cawapres, tetapi bagaimana kemudian regulasi dan undang-undang dengan mudahnya diubah-ubah, diotak-atik untuk kepentingan elit tertentu. Padahal, sama-sama kita tahu bahwa salah satu fungsi undang-undang adalah untuk melindungi hak-hak rakyat.

Tidak hanya berhenti di sana, praktik autocratic legalism juga jelas-jelas diterapkan untuk mensukseskan hajat elit politik tertentu dalam Pilkada mendatang. Dalam rangkaiannya, Anies Baswedan (Capres 01 yang telah kalah dalam kontestasi Pilpres) masih bisa maju di Pilkada DKI Jakarta. Akan tetapi kemudian hal ini terkendala aturan bahwa parpol yang bisa maju dalam Pilkada harus memiliki minimal 20% suara di DPRD DKI Jakarta. Sayangnya ketika itu parpol kubu pendukung 01 berpindah posisi ke kubu Ridwan Kamil, sehingga tersisa parpol PDIP Perjuangan dengan formasi 14% dalam DPRD. Alhasil Anies gagal maju sebagai calon kepala daerah DKI Jakarta.

Masalahnya, berdasarkan survey yang dilakukan, posisi Anies masih menjadi calon terkuat gubernur DKI dibandingkan Ridwan Kamil. Hal yang kemudian terjadi adalah munculnya calon independen di Pilkada DKI yang disinyalir hanya sebagai bentuk settingan agar Ridwan Kamil bisa menang. Keanehan yang muncul dari fenomena ini adalah calon independen ini berhasil mengumpulkan KTP warga DKI dengan jumlah banyak, padahal banyak warga DKI yang merasa tidak memberikan izin agar KTP mereka dicatut.

Sebelum kejadian tersebut, Mahkamah Agung juga melakukan pengubahan aturan terkait batas usia kepala daerah di angka 30 tahun bukan ketika mendaftar, tetapi ketika ia dilantik. Imbas dari peraturan ini adalah dapat majunya Kaesang (anak Jokowi) dalam kontestasi Pilkada padahal usianya belum mencapai 30 tahun.

Membaca dua keresahan tersebut, parpol Gelora dan Buruh mengajukan uji materi ke MK. Hasil uji materi MK adalah bahwa parpol hanya butuh 7,5% kursi di DPRD untuk mengikuti Pilkada dan batas usia calon cagub minimal 30 tahun saat pendaftaran masih berlaku. Kekhawatiran masyarakat mulai teratasi dengan adanya putusan tersebut. Namun, sehari setelahnya (21/8/2024) DPR RI tiba-tiba menggelar rapat mendadak yang disinyalir ditujukan untuk menganulir putusan MK. Konsekuensi logis dari peristiwa ini adalah kembali dapat majunya Kaesang sebagai calon gubernur padahal dengan status usia yang sebenarnya belum cukup.

IV.           Autocratic Legalism sebagai Upaya Pelanggengan Kekuasaan di Indonesia

Setelah meletusnya reformasi tahun 1998, Indonesia menyatakan diri memasuki babak demokrasi baru, era demokrasi yang lebih sehat, adil, dan sesuai nurani kemanusiaan. Lahirnya era reformasi sendiri tidak terlepas dari meluapnya pelanggaran terhadap demokrasi dan pengkhianatan konstitusi pada orde sebelumnya. Hal demikian mengisyaratkan adanya mimpi buruk rakyat Indonesia atas kesewenang-wenangan elit politik masa silam kemungkinan sampai saat ini masih menghantui sistem pemerintahan di Indonesia.

26 tahun Indonesia telah menginjakkan kaki dalam era reformasi. Rasanya perlu kembali dilakukan refleksi terkait praktik sistem demokrasi di Indonesia. Apakah cita-cita dan hajat besar bersama yang diamanatkan dalam diksi ‘reformasi’ telah sesuai dengan hakikat reformasi itu sendiri? Atau jangan-jangan reformasi kini hanya tinggal simbol belaka tetapi pada kenyataannya masih sama dengan era sebelumnya?

Beberapa rentetan peristiwa politik dimulai dari revisi UU KPK Nomor 19 tahun 2019 tentang pembatasan kewenangan KPK, pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) tahun 2020 terkait pemangkasan hak-hak pekerja, manipulasi regulasi dalam pemilihan umum tahun 2024 terkait batas usia wakil presiden, sampai dengan pengubahan batas usia calon gubernur dalam PILKADA 2024 merupakan wujud nyata autocratic legalism di Indonesia.

Autocratic legalism secara praksisnya merujuk pada upaya manipulasi hukum melalui konstituen-konstituen yang ada dalam rangka melanggengkan kekuasaan politik oleh elit tertentu. Fenomena nyata dari praktik autocratic legalism yang terjadi dalam jangka waktu dekat ini terlihat dari perubahan batas usia calon gubernur oleh Mahkamah Agung yang dipandang sebagai langkah untuk melancarkan kepentingan politik tertentu.

Autocratic legalism secara esensial mengaburkan batas antara hukum dan otoritarianisme. Ketika hukum yang seharusnya melindungi demokrasi justru diubah untuk melanggengkan kekuasaan, maka sistem tersebut kehilangan esensinya. Di Indonesia, praktik ini seringkali melibatkan perubahan regulasi yang tiba-tiba, seperti dalam kasus Pilkada, dengan tujuan memperkuat posisi aktor politik tertentu. Ketika aktor politik mendominasi institusi hukum, checks and balances menjadi tumpul, sehingga hukum hanya berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan.

Fenomena ini tidak hanya merusak institusi hukum, tetapi juga mengikis partisipasi publik dalam demokrasi. Ketika hukum dipersepsikan sebagai alat elit, publik cenderung kehilangan kepercayaan pada proses politik dan hukum. Di sisi lain, kontrol terhadap peraturan juga memungkinkan kekuasaan terus dilanggengkan tanpa memperhitungkan aspirasi rakyat.

Dengan demikian, autocratic legalism menjadi strategi efektif dalam mempertahankan kekuasaan dengan kedok legalitas. Penting untuk dicatat bahwa langkah ini berpotensi membawa Indonesia ke arah sistem politik yang semakin otoriter, di mana hukum tidak lagi menjadi landasan keadilan, melainkan alat penguasa. Akhirnya, fenomena ini mengarah pada stagnasi politik dan melemahkan mekanisme akuntabilitas dalam demokrasi yang sehat.

Autocratic legalism, sebuah konsep dimana pemimpin otoriter menggunakan perangkat hukum untuk mempertahankan kekuasaan dengan tetap menjaga kesan legalitas, memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan rakyat. Di Indonesia, praktik-praktik autocratic legalism yang terjadi setelah Reformasi 1998 telah memperburuk kondisi demokrasi dan keadilan sosial. Meskipun negara ini secara resmi demokratis, autocratic legalism mengancam kebebasan sipil, transparansi, dan keadilan. Berikut ini beberapa dampak buruk dari autocratic legalism bagi rakyat Indonesia.

  1. Melemahkan Institusi Demokrasi
    • Autocratic legalism di Indonesia berdampak langsung pada pelemahan institusi demokrasi yang seharusnya menjaga keseimbangan kekuasaan. Contohnya adalah revisi UU KPK pada tahun 2019 yang secara signifikan mengurangi independensi lembaga antikorupsi ini. KPK yang sebelumnya merupakan benteng pemberantasan korupsi kini terancam kehilangan kredibilitas dan efektivitas. Pelemahan ini menunjukkan bahwa hukum tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk memberantas korupsi, melainkan menjadi sarana untuk melindungi kepentingan elite yang berkuasa. Dampaknya adalah meningkatnya korupsi yang menghambat pembangunan dan merugikan rakyat secara luas.
  2. Ketidakadilan Sosial dan Ekonomi
    • Autocratic legalism juga berdampak buruk pada keadilan sosial dan ekonomi. Misalnya, pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dinilai lebih menguntungkan pemodal besar daripada pekerja adalah contoh bagaimana regulasi yang dibuat untuk memperkuat kepentingan elite dapat merugikan rakyat kecil. UU ini mengurangi perlindungan bagi buruh dan pekerja, memperburuk ketimpangan sosial, dan memaksa mereka bekerja dalam kondisi yang kurang layak. Ketika hukum digunakan untuk mendukung kepentingan segelintir orang kaya, rakyat biasa kehilangan akses ke kesempatan yang adil dan peningkatan kesejahteraan.
  3. Pembatasan Kebebasan Berpendapat dan Hak Sipil
    • Salah satu efek buruk paling nyata dari autocratic legalism adalah pembatasan kebebasan berpendapat dan hak sipil. Di Indonesia, UU ITE sering digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik dan oposisi terhadap pemerintah. Pasal-pasal seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian seringkali ditafsirkan secara sempit untuk menjerat aktivis, jurnalis, dan warga yang vokal menyuarakan ketidakadilan. Akibatnya, rakyat menjadi takut untungnya mengkritik kebijakan pemerintah atau menyampaikan pendapat, yang berdampak pada menurunnya kualitas demokrasi dan partisipasi publik.
  4. Merosotnya Kepercayaan Publik terhadap Hukum dan Keadilan
    • Praktik autocratic legalism merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan keadilan. Ketika rakyat melihat bahwa hukum dapat dimanipulasi untuk kepentingan elite atau digunakan sebagai alat untuk mengendalikan oposisi, kepercayaan terhadap sistem hukum menjadi luntur. Ini menyebabkan munculnya sikap skeptis dan apatisme di masyarakat, di mana hukum dianggap sebagai alat kekuasaan daripada sarana untuk mencapai keadilan. Kehilangan kepercayaan ini berujung pada meningkatnya ketidakpuasan dan potensi instabilitas sosial.
  5. Menghambat Kemajuan Demokrasi
    • Autocratic legalism menciptakan ilusi demokrasi, di mana prosedur demokratis seperti pemilu tetap ada, tetapi substansi demokrasi—seperti persaingan yang adil, transparansi, dan akuntabilitas—dilumpuhkan. Pengaturan sistem pemilu yang bias dan manipulasi hukum untuk mempertahankan status quo membuat rakyat kehilangan peluang untuk memilih pemimpin yang benar-benar representatif. Hal ini menghambat perkembangan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan, serta menutup peluang bagi perubahan yang lebih baik.

Autocratic legalism membawa dampak yang merugikan bagi rakyat Indonesia. Mulai dari pelemahan institusi demokrasi, ketidakadilan sosial dan ekonomi, pembatasan kebebasan berpendapat, hingga merosotnya kepercayaan terhadap hukum, praktik ini membahayakan kualitas kehidupan demokratis dan kesejahteraan rakyat. Meskipun praktik ini dilakukan dengan tampilan legalitas, pada intinya, autocratic legalism merusak tatanan sosial dan politik yang adil dan merata. Untuk menjaga demokrasi tetap hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya, rakyat perlu terus waspada dan menolak bentuk-bentuk autocratic legalism yang mengancam hak-hak mereka.

V.        Erosi Nilai Demokrasi Melalui Manipulasi Hukum dalam Autocratic Legalism

Praktik autocratic legalism di Indonesia mau tidak mau telah mengakibatkan erosi pada nilai-nilai inti dalam demokrasi. Beberapa dampak utamanya adalah:

  1. Melemahkan Sistem Check and Balance
    • Prinsip check and balance dalam demokrasi bertujuan untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak terpusat pada satu entitas saja. Namun, dengan adanya autocratic legalism, lembaga-lembaga seperti KPK, pengadilan, dan media massa menjadi rentan terhadap intervensi politik. KPK yang lemah, misalnya, tidak lagi mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap korupsi di level elit politik, yang mengakibatkan kekuasaan semakin terkonsentrasi tanpa pengawasan yang efektif.
  2. Penurunan Partisipasi dan Kepercayaan Publik
    • Ketika hukum dipakai untuk menekan oposisi dan suara kritis, rakyat merasa bahwa partisipasi politik mereka tidak lagi memiliki dampak signifikan. Kepercayaan publik terhadap sistem politik menurun karena hukum dianggap sebagai instrumen kekuasaan elit, bukan alat keadilan. Hal ini berujung pada apatisme politik dan menurunnya partisipasi dalam pemilu serta proses demokrasi lainnya.
  3. Penghilangan Kebebasan Sipil
    • Demokrasi yang sehat membutuhkan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan berkumpul. Namun, praktik autocratic legalism membatasi kebebasan-kebebasan ini melalui ancaman hukum dan kriminalisasi terhadap kritik. Masyarakat menjadi takut untuk menyuarakan pendapatnya karena khawatir dengan dampak hukum yang dihadapi, menghambat perdebatan publik yang terbuka dan sehat.
  4. Meningkatnya Ketidakadilan Sosial dan Ekonomi
    • Dengan hukum yang lebih memihak elite dan korporasi besar, ketimpangan sosial dan ekonomi semakin meningkat. Demokrasi seharusnya memastikan distribusi kesejahteraan yang adil dan setara, namun autocratic legalism mengarah pada sistem yang semakin timpang, di mana segelintir orang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dan pengaruh politik.

Praktik autocratic legalism di Indonesia telah mengikis nilai-nilai dasar demokrasi seperti keadilan, kebebasan, partisipasi, dan transparansi. Meskipun tampilan demokrasi masih terjaga, substansinya mulai memudar akibat manipulasi hukum oleh elit politik untuk mempertahankan kekuasaan. Jika dibiarkan berlanjut, erosi ini dapat mengarah pada kembalinya otoritarianisme dalam bentuk yang lebih halus, tetapi tidak kalah represif. Untuk mempertahankan demokrasi yang sehat, diperlukan upaya untuk mengembalikan hukum pada fungsinya sebagai alat untuk mencapai keadilan, bukan sebagai alat kontrol kekuasaan.

VI.         Diterbitkannya Peringatan Darurat

Hingga saat ini, jagat maya masih diramaikan oleh postingan “Peringatan Darurat” yang bergambar garuda pancasila dengan latar belakang biru. postingan ini benar-benar memenuhi berbagai platform media sosial yang ada. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat sedang ada upaya untuk menganulir putusan final dari MK. Jagat maya memang menjadi ruang yang riuh untuk membicarakan berbagai isu yang sedang terjadi saat ini.

Partisipasi publik menjadi satu kekuatan yang nantinya akan berdampak pada upaya-upaya perlawanan. Munculnya postingan peringatan darurat juga menjadi bentuk kemarahan publik akan ketidak sewenang-wenangan yang agaknya selalu dilakukan elit politik negeri ini. Tentu ini menjadi jalan panjang cerita keborokan pembajakan reformasi.

VII.          Penyikapan PMII Airlangga terhadap Praktik Autocratic Legalism di Indonesia

Dalam hal praktik kesewenang-wenangan pengubahan hukum dengan cara autocratic legalism tentu saja menjadi kekhawatiran bersama. Dalam hal ini, petinggi negara yang seharusnya mampu menjadi pionir dalam penegakan konstitusi justru berkhianat dan merampas hak-hak rakyat. Pengajuan RUU Pilkada oleh DPR dipandang tidak sejalan dengan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang dimiliki oleh PMII.

  1. Berdasarkan nilai Aswaja Tawasuth (Moderat) apa yang terjadi di pemerintahan tidak menunjukan nilai Tawasuth sebab terdapat indikasi keberpihakan pemerintah terhadap suatu kubu yang berkepentingan serta adanya inkonsistensi pemerintah dimana pada ajang Pilpres keputusan MK dianggap Final, sedangkan pada saat ini ada upaya untuk menganulir putusan dari MK.
  2. Berdasarkan Nilai Aswaja Tawazun (Keseimbangan) adanya campur tangan pemerintah terkait keberpihakan pada suatu kubu yang berkepentingan menimbulkan ketidakseimbangan dalam peta perpolitikan sehingga sangat bertentangan dengan nilai Tawazun.
  3. Berdasarkan Aswaja Ta’adul (Keadilan) upaya pembuatan RUU oleh DPR tidak mencerminkan aspek Ta’adul sebab hanya menjadikan rakyat sebagai komoditas politik untuk memuluskan kepentingan suatu pihak.
  4. Berdasarkan Aswaja Tasamuh (toleran) adanya indikasi pemerintah untuk melemahkan kubu oposisi lewat RUU pilkada oleh DPR menyalahi aswaja Tasamuh sebab akan mengurangi aspek keberagaman pandangan politik di dalam pemerintahan.

Selain bertentangan dengan nilai-nilai Aswaja, praktik autocratic legalism juga melanggar Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang dimiliki PMII. Pembuatan RUU Pilkada oleh DPR tidak mencerminkan nilai Hablum minannas sebab tidak didasari oleh nilai kemanusian dan keadilan. Hal tersebut diindikasikan dengan momen pengajuan RUU oleh DPR yang mendekati masa Pilkada D.K.I serta proses kajian yang dilakukan terkesan sangat singkat sehingga memunculkan spekulasi bahwa hal tersebut hanya dilakukan atas dasar suatu kepentingan tertentu.

V.            Tuntutan dan Pernyataan Sikap PMII Airlangga

Berdasarkan Aswaja dan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang menjadi pedoman berorganisasi oleh PMII Airlangga, maka dengan ini PMII Komisariat Airlangga mendukung dan mengawal putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan N0. 70/PUU-XXII/2024 serta menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. PMII Komisariat Airlangga mengecam dan menolak segala bentuk Autocratic Legalism yang melanggengkan kepentingan kelompok tertentu
  2. PMII Komisariat Airlangga mendukung segala upaya untuk memperkuat kedaulatan rakyat dalam kehidupan berdemokrasi
  3. PMII Komisariat Airlangga berkomitmen untuk terus mengawal keputusan MK
  4. PMII Komisariat Airlangga menuntut KPU untuk menyesuaikan PKPU dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat
  5. PMII Komisariat Airlangga berkomitmen untuk mengawal proses demokrasi PILKADA sampai selesai.

VI.      Daftar Pustaka

Agung, S. (2024, May 2). “Menguak Tirai Otokrasi Hukum: Bagaimana Kekuasaan Membelenggu Demokrasi Indonesia”. (Universitas Islam Indonesia.

https://law.uii.ac.id/blog/2024/05/02/menguak-tirai-otokrasi-hukum-bagaimana-ke kuasaan-membelenggu-demokrasi-indonesia/ ).

Aspinall, Edward. (2020). “Democracy Eroding in Indonesia.” Journal of Southeast Asian Studies, 51(2), 287-302.

Butt, Simon. (2018). The Constitutional Court and Democracy in Indonesia. Brill.

Corrales, Javier. (2015). “Autocratic Legalism in Venezuela.” Journal of Democracy, 26(2), 37-51.

Ginsburg, Tom, & Moustafa, Tamir (Eds.). (2008). Rule by Law: The Politics of Courts in Authoritarian Regimes. Cambridge University Press.

Hadiz, Vedi R. (2017). Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge University Press.

Landau, David. (2013). “Abusive Constitutionalism.” UC Davis Law Review, 47(1), 189-260.

Levitsky, Steven, & Way, Lucan A. (2010). Competitive Authoritarianism: Hybrid Regimes After the Cold War. Cambridge University Press.

Mietzner, Marcus. (2019). “Authoritarian Innovations in Indonesia: Electoral Manipulation, Identity Politics, and Autocratic Legalism.” Democratization, 26(8), 1477-1495.

Scheppele, Kim Lane. (2013). “The Rule of Law and the Frankenstate: Why Governance Checklists Do Not Work.” Governance, 26(4), 559-562.

Setiyono, Budi, & McLeod, Ross H. (2010). “Civil Society Organisations’ Contribution to the Anti-Corruption Movement in Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economic Studies, 46(3), 347-370. Winters, Jeffrey A. (2013). Oligarchy and Democracy in Indonesia. Routledge.