Categories
Blog

Pencopotan Dekan FK UNAIR, Cerminan Persekusi Kebebasan Berpendapat Di Ruang Akademik

Sebuah Kajian singkat PMII Rayon FISIP

Baru-baru ini kita mendengar pencopotan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof. Budi Santoso atau yang akrab disapa Prof BUS pada hari Rabu (3/7) silam oleh Rektor Universitas Airlangga. Pencopotan ini disinyalir karena penolakan yang dilakukan oleh Prof BUS terkait rencana Kementerian Kesehatan yang akan mendatangkan dokter asing. Tindakan yang dilakukan secara sepihak tanpa melewati banyak pertimbangan ini tentunya mendapat respons berupa kecaman dari berbagai pihak termasuk para sivitas akademika FK Unair dengan melakukan aksi damai di Gedung FK Unair Kampus A Universitas Airlangga pada hari Kamis (4/7). Mereka menuntut pimpinan Universitas Airlangga untuk mengembalikan Prof BUS sebagai Dekan FK Unair. 

Dugaan Maladministrasi yang Dilakukan oleh Rektor Unair

Rektor Universitas Airlangga Prof. Mohammad Nasih diduga melakukan maladministrasi karena pencopotan yang dilakukan kepada Prof BUS tidak berdasarkan ketentuan hukum pada Statuta Universitas Airlangga. Adapun berdasarkan PP No. 30 Tahun 2014 Tentang Statuta Universitas Airlangga pada Pasal 53 disebutkan bahwa Dekan dan Wakil Dekan dapat diberhentikan apabila berakhir masa jabatannya, meninggal dunia, mengundurkan diri, sakit permanen, sedang studi lanjut, dan/atau dipidana penjara. Dalam keputusan yang dilakukan oleh Rektorat dengan mencopot Prof BUS sebagai Dekan tidak sesuai dengan prasyarat yang ditentukan oleh statuta. 

Redupnya Kebebasan Berpendapat di Ruang Akademik

Keputusan sepihak yang dilakukan oleh Rektor Unair semata-mata adalah sebagai bentuk pengebirian secara perlahan atas kebebasan berpendapat di ruang akademik. Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pada Pasal 8 butir (1) disebutkan bahwa “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan”. Hukum di Indonesia sudah menjamin atas kebebasan berpendapat yang dilakukan oleh para sivitas akademika yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Statement yang disampaikan oleh Prof BUS sendiri sebagai seorang akademisi tentunya melalui berbagai pertimbangan akademis yang rasional. Universitas perlahan menjadi ruang yang tidak aman untuk mencapai kebenaran akademis. Padahal salah satu tujuan utama dibentuknya sekolah dan universitas adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam ruang akademis perbedaan pendapat adalah hal yang sangat lumrah, karena masing-masing dari para akademisi memiliki core belief yang berbeda. Perbedaan ini terjadi sebagai bentuk kekayaan ilmu pengetahuan, bahwasannya ilmu pengetahuan tidak dapat dilihat dari satu sisi. Kampus haruslah menjadi rumah yang memberikan energi bagi ilmu pengetahuan, bukan menjadi “neraka” bagi ilmu pengetahuan. Sebuah hal yang wajar kritik itu muncul di ruang akademik, pandangan yang muncul dari sisi seorang akademisi tidaklah mewakili kepentingan partisan melainkan kepentingan akademik, karena itulah tanggung jawab moral seorang akademisi yaitu menyuarakan kebenaran berdasarkan tinjauan akademisnya. Tidak sepantasnya justru seorang akademisi dibungkam saat ia menyuarakan pendapatnya di ruang akademik. Otoritas negara diharapkan semakin tegas dan berkomitmen untuk mengembalikan ruang kebebasan akademik kepada habitatnya sebagai penyeimbang ilmu pengetahuan dan realitas kehidupan. Bukan justru menjadi instrumen kepentingan penguasa demi menghindarkan diri dari para “pengganggu” kepentingan politiknya. 

Referensi:

Budiarti, I. (2024, July 5). Fakta-fakta Gubes, Dosen hingga Dokter FK Unair Kompak Mogok Bela Prof BUS. Retrieved July 8, 2024, from detikjatim website: https://www.detik.com/jatim/berita/d-7424011/fakta-fakta-gubes-dosen-hingga-dokter-fk-unair-kompak-mogok-bela-prof-bus

Wiratraman, H. P. (2024, July 7). Menjaga ”Rumah” Ilmuwan . Retrieved July 8, 2024, from kompas.id website: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/07/07/menjaga-rumah-ilmuwan
Prawira, Y. (2024, July 5). Rektor Unair Berpotensi Maladministrasi Buntut Pencopot Dekan Fakultas Kedokteran. Retrieved July 8, 2024, from SINDOnews Daerah website: https://daerah.sindonews.com/read/1409605/704/rektor-unair-berpotensi-maladministrasi-buntut-pencopot-dekan-fakultas-kedokteran-1720159651.

Categories
Blog

Islam Wasathiyah dalam Bingkai Demokrasi di Indonesia

Sekilas Tentang Islam Wasathiyah
Islam Wasathiyah mulai berkembang pada medio abad ke-21 masehi sebagai sebuah diskursus yang menjadi penentu posisi Islam dan kaum muslimin pada manifestasi kehidupan sosial politik. Islam Wasathiyah merupakan manifestasi dari nilai Ahlussunnah wal Jamaah yakni Tawassuth. Terminologi Wasathiyah berakar dari kata wasat, yang berarti pertengahan sehingga Wasathiyah diterjemahkan sebagai sebuah sikap pertengahan. Dalam rumusan kebahasaan berdasarkan KBBI, Wasathiyah memiliki arti moderat. Islam Wasathiyah atau Islam Moderat memberikan penegasan positioning umat islam yang tidak memiliki kecenderungan kepada satu pihak (prinsip keterbukaan), dan menghindarkan pada perilaku yang ekstrim. Sederhananya, prinsip Islam Wasathiyah akan mengambil jalan tengah dari diversitas spektrum ideologi dengan kembali kepada pedoman Al-Qur’an dan Sunnah. Tujuan dari Islam Wasathiyah adalah supaya umat islam dapat terhindar dari tindakan radikalisme dan fundamentalisme dalam beragama serta menciptakan Ummatan Wasathan dan Islam Rahmatan lil ‘Alamin.

Demokrasi dalam Konsepsi Islam Wasathiyah
Ada banyak pendapat mengenai konsepsi daripada demokrasi itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, ada juga yang mengungkapkan bahwa demokrasi adalah rule by the people. Namun, benang merah dari banyak argumen di atas adalah dalam rangka menjunjung people sovereignty (kedaulatan rakyat). Terdapat beberapa prasyarat untuk membangun demokrasi menurut K.H Marsudi Syuhud, pertama wujubu al-syuro al wulati al-umur (melaksanakan hasil konsensus/kesepakatan bersama), kedua al-masuliyyah al-fardhiyyah (adanya perlindungan hak-hak warga negara), ketiga umumi al-huquq baina al-nas (aktivitas bernegara harus menyangkut kepentingan bersama, keempat at-tadhomu baina ar-ra’yati ala ikhtilafi ath-thawaif wa at-tabaqat (menghormati perbedaan pendapat). Ummatan Wasathan dalam kerangka konseptual Islam Wasathiyah secara fundamental menerangkan tentang pentingnya menciptakan tatanan masyarakat yang moderat, berefleksi pada perilaku berkehidupan yang harmonis dan berkeseimbangan. Esensi Ummatan Wasathan sendiri telah menjadi prinsip dalam bertindak adil pada konstruksi kehidupan sosial-politik. Memiliki sikap yang bijak, adil, terbuka, humanis, dan toleran terhadap pluralitas identitas sosial-politik, mau mendengar, dan tidak bersikap menindas terhadap kaum marginal sehingga terciptanya kehidupan yang ajeg dan rukun. Prinsip-prinsip yang tercermin dan saling berkorelasi dalam penerapan demokrasi yang ideal serta memiliki implikasi yang nyata bagi setiap anggota masyarakat.

Tinjauan Argumentasi
Dalam kehidupan berdemokrasi hari ini, justru bangsa kita berada diantara dua kemungkinan, apakah menuju jalur yang konstruktif sebagai jalan menuju konsolidasi demokrasi yang mapan, atau justru yang terjadi adalah democratic backsliding (kemunduran demokrasi)? Bagaimanapun juga, kita pasti mengharapkan kehidupan demokrasi yang benar-benar settle. Lantas dengan cara apa kita bisa melalui itu? salah satu solusinya adalah dengan mengimplementasikan nilai Islam Wasathiyah sebagai nilai moral dan paradigma berpikir. Melalui nilai-nilai yang terkandung dalam Islam Wasathiyah, kita dapat mampu untuk menghidupkan bangsa secara proaktif. Negara yang sudah terkonsepsi secara fundamental melalui Pancasila dan UUD 1945 semestinya bergerak secara integral guna menciptakan bangsa Indonesia yang demokratis. Islam Wasathiyah sudah sepatutnya tidak hanya dimaknai sebagai sebuah wacana simbolik semata. Lebih daripada itu, Islam Wasathiyah adalah sebuah nilai yang mampu membumi dan terinternalisasi dalam kehidupan umat islam secara kolektif. Tantangan sosial-politik dewasa ini, membuat pandangan umat islam di Indonesia berada pada posisi yang dilematis. Dimana hal yang seharusnya dan senyatanya justru acapkali berbanding terbalik. Sudah sepatutnya dan sepantasnya umat islam menjadi katalis yang membangun peradaban beragama yang inklusif dan toleran baik sesama pengikutnya maupun agama lain. Dengan hadirnya agenda Islam Wasathiyah ini umat islam harus benar-benar menentukan stance-nya dengan benar, apakah ingin teguh dengan prinsip islam yang benar atau tenggelam dalam samudera kemungkaran.

Penulis: Dzaki Janiero